PENCEGAHAN MASUKNYA PENYAKIT ANTHRAX DI RUMAH POTONG HEWAN

PENCEGAHAN MASUKNYA PENYAKIT ANTHRAX DI RUMAH POTONG HEWAN

Oleh :Eka Nurdiyan Susilawati, S.Pt
(Kepala UPT RPH Kabupaten Blitar)

Agent penyebab penyakit Antraks adalah Bacillus anthracis, pertama kali ditemukan oleh Davaine dan Bayer (1849), yang kemudian diidentifikasi lebih lanjut oleh Pollender (1855). Bravel (1857) berhasil memindahkan penyakit ini dengan cara menginokulasi darah hewan yang terkena antraks. Koch (1877), dapat menguraikan sifat-sifat basil tersebut (Cluff 1979; Christie 1983). Bacillus anthracis merupakan bakteri berbentuk batang, ujung-ujungnya persegi dengan sudut-sudut yang nampak jelas, tersusun dua-dua atau berderet, sehingga nampak seperti ruas-ruas bambu atau susunan batu bata, membentuk spora, bersifat gram positif, dengan ukuran 1-2 µ m x 5-10 µ m, dan non motil.

Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonotik (dapat menular ke manusia) yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Bakteri ini dapat membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup selama 60 tahun di dalam tanah, sehingga sulit untuk dimusnahkan. Sumber penularan antraks pada manusia adalah hewan pemamah biak dan herbivora lainnya seperti sapi, kerbau, kambing dan domba, yang terinfeksi oleh bakteri Antraks.

Antraks telah menimbulkan dampak seperti masalah kesehatan dan kepanikan masyarakat serta kerugian ekonomi yang cukup besar pada masyarakat peternak karena penyakit ini mengakibatkan kematian pada hewan ternak ruminansia dalam waktu yang singkat. Selain itu upaya pengendaliannya cukup sulit, mengingat spora antraks yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan serangan penyakit ini akan berulang apabila tanah yang mengandung spora terangkat ke permukaan akibat tindakan manusia atau kejadian alam.

 

SUMBER PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO

Antraks adalah suatu penyakit zoonotik, oleh karena itu penularan dapat terjadi diantara hewan dan dapat menular juga kepada manusia. Cara penularan yang sering terjadi adalah sebagai berikut:

  1. Penularan dari Hewan ke Hewan atau ke manusia. Penularan dapat terjadi bila hewan atau manusia terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung bakteri antraks atau oleh spora yang ada disekelilingnya. Kondisi tanah dengan keasaman netral atau tanah berkapur alkalis dapat menyebabkan bakteri antraks berkembang biak dan membentuk spora dalam jumlah yang lebih banyak.
  2. Penularan melalui spora Bakteri antraks akan dikeluarkan dari tubuh hewan melalui sekresi dan ekskresi selama sakit atau menjelang kematiannya. Bila hewan tersebut mati di ladang maka spora yang keluar melalui lubang-lubang kumlah spora dengan cepat akan terbentuk dan mencemari tanah atau obyek lain di sekitarnya. Bila sudah terjadi hal demikian maka sulit untuk memusnahkan spora yang sudah terlanjur terbentuk sehingga tersebar mencemari lingkugan. Spora antraks juga ikut terbongkar pada saat petani melakukan pengolahan tanah dan selanjutnya terbawa oleh aliran air di musim hujan atau terbawa oleh limbah cair ke tempat lain. Spora di permukaan tanah juga dapat terkikis oleh gerusan aliran air hujan ke parit di sekitar lokasi dan terbawa ke tempat yang cukup jauh.
  3. Penularan melalui hewan dan pakan ternak Rumput yang dipangkas untuk pakan ternak sangat berpotensi membawa spora dan berisiko menularkan antraks dari satu daerah ke daerah lainnya. Selain itu juga akibat dari hewan ternak yang digembalakan di daerah tercemar spora antraks, dan merumput sampai pangkal batang yang berdekatan dengan tanah pada saat mulai musim penghujan dimana rumput masih pendek.
  4. Penularan melalui konsentrat atau bahan pakan dari hewan Penularan melalui konsentrat protein yang terkontaminasi oleh spora antraks ini pernah terjadi di Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia telah melarang pemberian tepung tulang kepada ruminansia untuk menghindari penularan antraks dan sapi gila (BSE).
  5. Penularan dari bahan produk industri asal hewan Penularan antraks pada orang yang disebabkan oleh secara tidak sengaja terpapar dengan spora yang terbawa oleh produk ternak misalnya penyamakan kulit, pembuatan wool

 

GEJALA KLINIS PADA HEWAN

Hewan terinfeksi kuman antraks dapat bersifat per-akut, akut dan kronis. Gejala klinis pada perjalanan penyakit yang bersifat per-akut kadang-kadang tidak sempat kelihatan karena kematiannya sangat mendadak. Gejala klinis yang bersifat akut biasanya ditandai dengan kenaikan suhu badan, gelisah, depresi, sesak nafas, detak jantung lemah tapi frekuen, kejang kemudian diikuti dengan kematian. Sebelum terjadi kematian dari lubang kumlah penderita keluar cairan (ekskreta) berdarah bersifat encer berwarna kehitaman. Antraks kronis pada umumnya ditemukan pada babi, ditandai dengan adanya lesi pada lidah dan tenggorokan. Setelah dilakukan pengobatan maka hewan biasanya dapat disembuhkan.

 

MASA INKUBASI

Masa inkubasi dari penyakit antraks adalah 7 hari, tetapi umumnya berkisar antara 2 – 5 hari

 

PENGAWASAN PEMOTONGAN DI RUMAH POTONG HEWAN

Salah satu peran Rumah Potong Hewan (RPH) dalam Pengendalian Penyakit Hewan dan Zoonosis SANGAT ESENSIAL dan SIGNIFIKAN, terutama untuk menghindari Pemotongan HEWAN YANG SAKIT atau diduga sakit sehingga menjamin daging dan hasil ikutannya AMAN dan LAYAK dikonsumsi.

Selain itu, RPH diharapkan mampu mendeteksi adanya penyakit hewan sehingga dapat sesegera memberikan informasi ke pemerintah daerah dan otoritas kesehatan hewan baik di tempat RPH berada dan tempat (daerah) asal hewan sehingga dapat dilaksanakan tindakan aksi yang cepat di tempat asal agar tidak terjadi penyebaran penyakit yang meluas.

Sistem di RPH dapat menjamin pemotongan hewan yang sehat dan layak untuk konsumsi serta menjamin kesehatan lingkungan dari pencemaran kuman-kuman yang berbahaya bagi manusia dan hewan. Sistem jaminan tersebut meliputi antara lain:

  • Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih oleh Dokter Hewan atau Paramedik dalam pengawasan Dokter Hewan sehingga hanya hewan yang sehat saja yang dipotong;
  • Pemeriksaan kesehatan daging dan jeroan setelah disembelih sehingga hanya daging dan jeroan yang aman dan layak yang dapat diedarkan untuk masyarakat;
  • Pengawasan proses pemotongan untuk mengurangi pencemaran pada daging, jeroan, lingkungan, dan pekerja di RPH; dan
  • Pelaporan jika terdapat hewan sakit.
  • Tidak menerima hewan yang telah dilakukan pemotongan di luar RPH
  • Pengetatan terhadap pemotongan darurat

 

Ayo kita beli daging yang dipotong di RPH agar kita tetap sehat.

(RPH di Kabupaten Blitar telah ber NKV dan HALAL)

 

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Venteriner dan Kesehatan Hewan;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan;

 

Sumber :

  1. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Antraks Sub Direktorat Zoonosis Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor Dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Cetakan Tahun 2017
  2. Peran Rumah Potong Hewan (RPH) Saat Wabah Penyakit Mulut Dan Kuku (PMK) oleh : AMONG WIBOWO, SP, MMA Penyuluh Pertanian Madya Pada Dinas Pertanian dan Pangan Kota Magelang